Menunggu Senyummu
Hujan yang mengguyur sangat deras sore itu. Di pelataran parkir salah satu universitas negeri di Bandung, seorang mahasiswi terjebak di dalamnya. Kemudian ia berteduh di pinggiran parkiran yang tidak terkena hujan. Ia memegang sebuah helm warna hitam, memakai celana jeans dengan alas kaki sepatu all star warna krem memakai jaket warna biru berkuncung dengan syal ungu muda mengalungi lehernya.
Berkali-kali ia menerawang hujan yang tak kunjung reda dan berkali-kali pula ia melihat jam tangan hitam yang ia kenakan di tangan kirinya.
Tiba-tiba datang seseorang yang hendak berteduh di tempat yang sama dengan Gicha. Wajah orang itu tidak asing bagi Gicha, begitu pula sebaliknya. Adalah Danar kakak tingkat Gicha di Jurusan Astronomi. Namun mereka tidak mengenal satu sama lain.
Gicha hanya diam mendengarkan mp3 di hp nya dengan headset di telinga kirinya. Begitu juga Danar sangat menikmati suara di balik headset yang ia pasang di kedua telinganya, kedua tangannya dimasukan ke saku celana. Hening. Hanya gemercik hujan yang terdengar diantara mereka.
Akhirnya Gicha memilih untuk meninggalkan tempat itu dan pulang dengan menerobos hujan. Namun saat ia menghidupkan mesin motornya dan berkali-kali mencobanya entah mengapa motor itu tidak juga hidup seakan-akan menahan Gicha untuk tidak pulang saat itu.
“Turun!!” tiba-tiba Gicha mendengar suara seseorang yang sudah berdiri di sampingnya.
“untuk apa?” jawab Gicha dingin.
“kau tidak mau pulang?” jawab Danar yakin.
“aku bisa melakukannya sendiri” ucap Gicha masih dengan ekspresi yang sama.
“memangnya menurunkan gengsi di saat seperti ini sangat susah?” dengan ekspresi agak menggoda.
Akhirnya Gicha turun dari motor.
“lakukan apa yang ingin kau lakukan!” tutur Gicha menyerahkan kunci motornya.
Danar menyambutnya dengan gesit, kemudian dengan cekatan ia segera memeriksa motor Gicha. Gicha memperhatikan Danar dengan kemeja kotak-kotak hijau yang semakin basah terkena hujan yang masih rintik-rintik. Dengan pandangan yang tak berubah dalam hatinya Gicha bertanya-tanya mengapa ia harus bersikap dingin pada orang yang tidak tahu apa-apa tentang penderitaan batinnya.
“sekarang cobalah!” suara Danar sempat mengagetkan Gicha.
Dengan ekspresi datar gicha menyambar kunci motor yang Danar berikan lalu mencobanya dan ya berhasil.
“terimakasih” ucap Gicha masih dengan ekspresi dingin.
“hanya itu yang bisa kau berikan?”
“kau mau aku melakukan apa untukmu?”
“Setidaknya kau bisa mengucapkan terimakasih dengan senyum”
“aku harus pergi”
Setelah mengucapkan kalimat terakhir Gicha langsung meluncur menorobos hujan. Danar hanya tertegun melihat Gicha menghilang di balik rinti-rintik hujan. Sebelumnya tidak pernah ada gadis yang bersikap sedingin itu padanya, mengingat Danar adalah salah satu mahasiswa popular di jurusannya, ia tergabung di komunitas bike freestyle yang punya segudang prestasi membawa nama baik universitas. Selain mempunyai wajah tampan, Danar memiliki sifat unik dan menarik sehingga tidak sulit mendapat banyak teman. Sedangkan Gicha, perannya di lingkungan sosial sangat bertolak belakang dengan Danar. Gicha lebih suka menyendiri. Ironisnya, sendiri yang memaksa ia lebih nyaman.
Sikap dingin Gicha bukan tanpa sebab, ia mempunyai derita batin yang menyakitkan. Semua orang yang ia temui selalu menganggap ia lemah, rendah dan hina. Gicha tidak mempunyai bakat yang bisa dibanggakan dan dipamerkan pada orang lain. Bukan tidak punya, hanya ia tidak punya kesempatan untuk mengasahnya. Penampilannya biasa saja sehingga jarang ada orang yang memandangnya. Melihat judgement orang-orang terhadapnya membuat Gicha lebih suka diam, sehingga orang –orang lebih meremehkannya. Menganggap diamnya Gicha adalah kebodohan.
Keluarga yang seharusnya tempat pelarían justru yang sebenarnya mempelopori semua yang Gicha hadapi sekarang. Gicha sering mendapati orang tuanya bertengkar di depannya. Bahkan sering kali ia melihat ibunya dipukul dan ditampar oleh ayahnya. Semua yang ia lihat sangat menyedihkan sehingga membuatnya tumbuh dengan ketakutan, kebencian dan tidak peka terhadap lingkungan sosial.
Di kampus Danar dan Gicha sering kebetulan bertemu atau berpapasan, hanya saja setelah kejadian di parkiran membuat petemuan mereka yang kebetulan itu terasa berbeda. Danar sering melambaikan tangan, mengucapkan hai, atau memberikan senyuman sebagai sapaaan pada Gicha, tetapi Gicha tetaplah Gicha hatinya sudah terlalu keras dan pikirannya beku.
Gicha terkejut saat keluar dari kelasnya, ia mendapati sosok yang akhir-akhir ini menghampiri hari-harinya. Ya sosok itu adalah Danar.
“kakak sedang apa disini?” tiba-tiba suara Riri dari belakang Gicha kemudian melewati Gicha.
Danar hanya tersenyum menyambut sapaan Riri. Riri adalah teman sekelas Gicha dia aktif di berbagai kegiatan salah satunya di Hima. Namun Riri termasuk orang yang melihat seseorang dari luarnya. Ia hanya bersikap ramah pada orang yang ia rasa pantas untuk ia perlakukan dengan baik. Jelas itu membuat Gicha tak sedikitpun respect padanya.
Melihat Danar dan Riri akrab, Gicha melanjutkan langkahnya melewati mereka berdua. Ia memilih menuruni anak tangga satu persatu dibanding memakai lift. Sambil melamun ia menghitung anak tangga satu persatu hingga sampai di lobi dan keluar dari gedung fakultasnya.
“Tunggu!”
Gicha menoleh dan terkejut saat mengetahui suara itu milik Danar.
“aku ingin bicara denganmu” ucap Danar sambil mendekat pada Gicha.
Gicha kembali melanjutkan langkahnya tidak mempedulikan Danar.
“kenapa kau seperti ini? Kenapa kau tidak bisa sebentar saja meresponku?
“bukan urusanmu”
“kau butuh teman bicara, untuk berbagi pikiran dan perasaan, dan aku bersedia untuk itu” tegas Danar.
“kau tidak perlu ikut campur” jawab Gicha dan melanjutkan langkahnya.
“manusia adalah makhluk sosial, membutuhkan orang lain untuk hidup begitu juga kau dan aku, kita tidak akan bertahan lama tanpa orang lain” teriak Danar.
“lalu apa mereka menganggapku manusia? Apa mereka memperlakukan aku seperti manusia pada umumnya? Ucap Gicha dengan nada tinggi. Danar tertegun.
“sayangnya aku tidak menerima semua itu” sambung Gicha lirih.
Tatapannya masih pada Danar. Hening. Diam. Gicha merasakan tenggorokannya sakit menahan tangisan. Nafasnya tersendat, terasa sakit di dada, ingin rasanya ia menumpahkan air mata. Namun itu tidak mungkin ia lakukan di tempat yang banyak orang bisa melihatnya.
Keesokan harinya Gicha merasa badannya sangat lemah karena pikirannya terus bekerja menganalis kejadian kemarin. Saat keluar dari pagar rumah Gicha kembali dikejutkan dengan sosok yang membuat pikirannya bekerja keras semalaman. Danar. Ia bersandar di motornya tepat di samping pagar rumah Gicha.
“berhentilah mengasihaniku” ucap Gicha dengan nada lebih lembut dari biasanya.
“aku tidak pernah mengasihanimu, aku hanya ingin kau memberi aku kesempatan untuk menjadi teman bicara, tempat kau mengekspresikan apa yang kau rasakan. Aku tahu terlelu cepat jika mengharapkanmu percaya padaku tapi percayalah aku bisa kau andalkan”
“beri aku alasan kenapa kau mau melakukan semua ini”
“baik” tegas Danar dengan senyum dan penuh keyakinan.
“apa kau tahu? banyak orang yang aku temui dengan segala kepura-puraannya, pura-pura tersenyum, pura-pura ramah, pura-pura baik, padahal semua itu palsu, mereka melakukannya demi image, tapi aku tidak menemukannya di dalam dirimu. Aku tidak tahu kau dapat menerima alasanku atau tidak tapi memang itulah alasanku” urai Danar dengan meyakinkan.
“aku tidak tahu harus bilang iya atau tidak” ucap Gicha
“aku mengerti, kau takut aku seperti yang lain, menghampirimu kemudian berlalu begitu saja, mungkin tidak mudah bagimu menerima semua ini, tapi aku harap kau mau mencoba percaya padaku” tutur danar.
“Bagaimana kalau pulang kuliah kau berkunjung ke rumahku?” sambung Danar.
“untuk apa?”
“aku sangat dekat dengan ibuku, kau boleh mencari tahu apa saja tentangku, kejelekanku, kelemahanku, jika aku ingkar janji kau bisa menjadikan itu sebagai senjata”
Gicha tersenyum mendengar ajakan Danar. Untuk pertama kalinya setelah kuliah, Gicha tersenyum. Akhirnya Danar melihat senyuman yang tulus dari seorang gadis yang membuatnya penasaran selama ini.
Hari ini Gicha dan Danar merasakan sesuatu yang berbeda, penuh warna dan kehangatan. Mereka menuju kampus dengan penuh harapan untuk masa depan yang cerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar